Revisi RUU KUHAP: Melindungi atau Mengkriminalisasi?

Foto : Ilustrasi (Net)

BANJARMASIN – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang disahkan sebagai usul inisiatif DPR RI pada 18 Februari 2025 lalu, memicu beragam reaksi.

Berbagai kekhawatiran muncul terkait transparansi proses pembahasan, potensi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan, serta apakah revisi ini akan benar-benar melindungi hak asasi manusia atau justru mengkriminalisasi warga.

Sebagai respons, Forum Ambin Demokrasi menggelar diskusi publik bertajuk evisi RUU KUHAP: Melindungi Warga atau Mengkriminalisasi?.

Diskusi yang digelar di Rumah Alam Sungai Andai Kamis (27/2/2025) tersebut, menghadirkan narasumber DR H Muhammad Effendy, SH MH selaku pakar hukum tata negara.

Kemudian ada Hairansyah selaku aktivis HAM, Berry Nahdian Forqan yang juga aktivis sosial kemasyarakatan, Siti Mauliana Harini sebagai aktivis perempuan. Dengan moderator, Nanik Hayati sorang jurnalis senior.

Muhammad Effendy menegaskan, bahwa revisi KUHAP perlu dilakukan karena KUHAP yang berlaku saat ini merupakan produk hukum peninggalan Belanda yang harus diperbarui, agar sesuai dengan perkembangan hukum modern.

Namun, ia menyoroti potensi konflik kewenangan dalam revisi terbaru, terutama terkait proses penyidikan dan penyelidikan.

“Jika pasal ini tidak diperbaiki, bisa terjadi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan, yang justru akan merugikan masyarakat dalam mendapatkan keadilan,” ujar mantan Komisioner KPU Kalsel ini dikutip dari jejakrekam.com.

Sementara itu, aktivis HAM Hairansyah menekankan, bahwa revisi KUHAP harus berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Menurutnya, revisi ini harus mengakomodasi hak korban dan saksi, mengatur secara lebih jelas soal waktu penahanan, serta memperkuat akuntabilitas penyelidikan.

“Yang paling penting, revisi ini harus memberikan perlindungan bagi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, lansia, masyarakat adat, serta kaum miskin yang berhadapan dengan hukum. Jangan sampai revisi ini hanya sekadar perebutan kewenangan, tetapi harus berbasis pada evaluasi dari Komnas HAM, Kompolnas, ICW, dan lembaga lainnya,” tegasnya.

Berry Nahdian Furqon, aktivis sosial masyarakat pun menimpali, bahwa revisi RUU KUHAP tidak hanya menyangkut substansi hukum, tetapi juga harus mempertimbangkan struktur dan budaya kerja aparat penegak hukum.

Ia menekankan pentingnya pengawasan publik yang lebih luas agar aparat tetap akuntabel. “Selama ini, Kompolnas sudah ada, tetapi tidak berjalan efektif. Pengawasan harus diperkuat, tidak hanya secara internal tetapi juga eksternal, dengan membuka ruang bagi pemantau independen yang dijamin haknya untuk mengawasi tanpa intimidasi,” ujar mantan Direktur Eksekutif Walhi Pusat ini.

Senada dengan itu, pengamat politik dan aktivis perempuan, Siti Mauliana Hairini menambahkan, bahwa masyarakat harus menjadi bagian dari sistem check and balance terhadap lembaga yudisial. Ia menekankan bahwa keterlibatan masyarakat dalam diskusi hukum adalah hal yang sangat penting.

“Hukum bersifat universal, dan semua orang bisa menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengannya. Oleh karena itu, diskusi seperti ini penting agar masyarakat tidak buta hukum dan lebih memahami bagaimana negara diatur,” katanya.

Dalam Diskusi itu juga diwarnai berbagai tanggapan dari peserta. Muhammad Fahrianoor, dosen komunikasi ULM Banjarmasin menyoroti trend no viral no justice, sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap sistem hukum yang dinilai masih belum transparan.

Sementara itu, mantan birokrat Dr IBG Dharma Putra menekankan pentingnya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam pembuatan serta pelaksanaan hukum.

“Niat baik dalam pembuatan hukum harus tercermin dalam konstitusi yang beradab, bernorma, dan menjunjung harmoni serta kesetaraan,” ujarnya.

Penulis dan pemerhati sosial, Noorhalis Majid mengkritisi orientasi KUHAP yang masih terlalu berfokus pada pemidanaan. Menurutnya, sistem hukum seharusnya lebih mengedepankan keadilan restoratif agar tidak selalu berujung pada pemenjaraan, terutama dalam kasus dengan kerugian kecil.

“Di negara lain, tindakan pidana sering kali dianggap sebagai bentuk autokritik terhadap negara, sehingga pemerintah berupaya memperbaiki layanan publik agar kriminalitas bisa ditekan hingga nol.

Namun, di Indonesia, anggaran kepolisian justru dihitung berdasarkan jumlah kasus yang ditangani, dengan rata-rata 8 juta Rupiah per kasus. Model ini harus dikaji ulang agar alokasi dana lebih berfokus pada pencegahan dan peningkatan efektivitas penegakan hukum,” paparnya.

Khairadi Asa, seorang seniman, menyoroti dominasi politik dalam penegakan hukum. Ia menegaskan bahwa revisi RUU KUHAP harus membuka ruang bagi pengawasan publik agar tidak digunakan sebagai alat politik oleh pihak tertentu.

Winardi, seorang pengusaha dari Banjarmasin, turut memberikan pandangannya. Ia menegaskan bahwa keadilan hanya bisa terwujud jika setiap institusi memahami kapasitas dan batas kewenangannya.

“Untuk menciptakan produk hukum yang baik, semua pihak harus mengutamakan kepentingan bersama dan tidak sekadar mempertahankan kewenangan masing-masing,” ujarnya.

Sebagai penutup, Daddy Fahmanadie, dosen hukum ULM mengingatkan, bahwa penerapan revisi KUHAP harus dikaji secara teliti berdasarkan naskah akademik. Menurutnya, jika hukum formilnya tidak disusun dengan baik, maka hukum materilnya pun akan mengalami kendala dalam implementasi.

Diskusi yang dipandu oleh jurnalis senior Nanik Hayati ini ditutup dengan kutipan terkenal dari Bernardus Maria Taverne (1874-1944), anggota majelis pidana Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda: Berikanlah Saya hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, maka penegakan hukum akan bekerja dengan baik meskipun dengan undang-undang hukum acara pidana yang buruk.(lokalhits)

Penulis Riza
Editor Riza

Artikel Lainnya

Scroll to Top